Oleh : Nasrudin Joha
Tak ada kapoknya, Mahfud MD kembali mengeluarkan pernyataan kontroversi dan menyakiti umat Islam. Dengan merujuk dalih ‘ada info’ Mahfud MD menuding di Jogja dan di Magelang ada pesantren radikal. Hal itu disampaikan Mahfud, dalam sebuah diskusi di Jakarta (16/8).
Alasan radikal juga unik, hanya karena tak mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia raya. Itupun sumbernya belum jelas, hanya baru info, baru katanya. Dalam bahasa hukumnya sumber itu testimoni de auditu, arabnya Qola wa Qila, Kata orang Jawa Jarene tur jarene, bukan hasil pemeriksaan dan pengamatan langsung Mahfud.
Tudingan radikal itu sendiri lebih pada bentuk stereotip dan stigma jahat terhadap umat Islam. Cap radikal, selalu dialamatkan kepada umat Islam. Tidak jelas, apa itu definisi dan parameter radikal.
Pada kasus pesantren radikal yang ditudingkan Mahfud, parameternya juga aneh. Tak mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia raya. Bukankah mengibarkan dan menyanyikan lagu itu ada waktu dan tempatnya ? Apa iya, sedang mengajarkan kitab Riyadus Shalihin atau hendak mengkaji kitab Bulughul Marom wajib nyanyi lagu Indonesia raya dulu ?
Lagipula, pernahkan Mahfud melakukan kajian terhadap gereja ? Klenteng ? Atau candi dan pure ? Coba, tanyakan ke Mahfud apakah di candi dan di pure itu ada lagu Indonesia raya ? Memasang bendera merah putih ?
Lebih jauh, apakah peran dan sejarah santri yang ikut angkat senjata dibawah komando resolusi jihad ulama mengusir penjajah juga dianggap Radikal ? Lantas, apa bedanya pernyataan Mahfud dengan penjajah Belanda yang menuding pejuang sebagai ekstrimis ? Radikalis ?
Radikalisme itu sendiri sampai hari ini tifak jelas dasar hukumnya. Radikalisme lebih seperti mantra sihir, alat untuk menuding dan mengalienasi pihak lainnya tanpa dasar dan pijakan yang jelas. Jika ditanyakan kepada Mahfud apa definisi radikal menurut UU ? Rujuk pasal berapa dan UU apa ? Pasti sampai botak kepalanya juga tidak akan ketemu.
Belum juga sembuh luka umat Islam sakit dengan sejumlah pernyataan ngawur Mahfud, dari pendukung 02 daerah garis keras, TNI kecolongan gegara Enzo pose bendera tauhid, sekarang menuding lagi pesantren radikal.
Padahal, saat ini pesantren sedang sibuk dan serius membina umat, mempersiapkan generasi masa depan, dan mencegah rusaknya peradaban akibat imbas sistem kehidupan yang liberal dan sekuler. Saat pesantren sibuk membina korban narkoba, mendidik calon Tahfidz, mengajari ilmu agama, Mahfud malah tebar fitnah.
Pernyataan Mahfud ini menegasikan peran dan sejarah panjang umat Islam memerdekakan bangsa ini. Di momentum hari kemerdekaan, seharusnya Mahfud banyak mengulas dan mengenang peran pesantren melawan penjajah. Bukan malah tebar tudingan dan fitnah.
Sebagai Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, anggota BPIP yang juga ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, seharusnya Mahfud lebih fokus membuat kajian kenapa orang yang mengaku aku Pancasila, seperti Idrus Marham, Romi, Novanto, Nyoman Damantra, itu justru yang dicokok KPK. Ada hubungan apa antara dukungan pada Pancasila dan korupsi yang kian menggila. Semakin Pancasilais kok semakin koruptif. Ini benar-bebar radikal ! (Red)