![](https://aliefmedia.com/wp-content/uploads/2025/02/IMG-20250213-WA0004.jpg)
BULUKUMBA, Aliefmedia.com – Radio harus tetap mempertahankan pola siarannya yang berbasis lokalitas ditengah gempuran teknologi yang berubah – ubah, transformasi penyiaran tidak harus mengubah konsep kearifan lokal sesuai karakter dan budaya masyarakatnya.
Saeful Alief Subarkah, sebagai praktisi penyiaran , menarik napas sebelum berbicara. “Radio itu soal rasa. Pendengar tak hanya butuh hiburan, tapi juga teman,” katanya, menatap layar mixer yang penuh tombol dan tuas.
Hari ini, 13 Februari 2025, dunia merayakan Word Radio Day 2025, sebuah pengingat bahwa gelombang udara masih berdenyut meski zaman berubah. Di era digital, radio kerap dianggap sebagai teknologi masa lalu. Tapi bagi para praktisi penyiaran seperti Saeful, radio tetap punya nyawa—suara yang tak tergantikan oleh algoritma atau layar sentuh.
“Dulu, orang bilang TV akan membunuh radio. Lalu datang internet, podcast, streaming. Tapi nyatanya? Radio masih ada, karena suara punya kedekatan yang tak bisa digantikan teks atau gambar,” ujarnya.
Sebagai praktisi, Saiful Alief Subarkah berpandangan bahwa mempertahankan radio bukan sekadar memutar lagu atau membacakan berita. Ada seni membangun koneksi, menyelami emosi pendengar, bahkan menghidupkan suasana hanya dengan suara.
“Radio lokal itu urat nadi komunitas. Kami bicara dengan bahasa mereka, memahami keresahan mereka,” tambahnya.
Di Bulukumba, Radio menjadi lebih dari sekadar penyedia hiburan. Radio ini mengabarkan cuaca bagi nelayan, menyuarakan aspirasi petani, dan menjadi wadah ekspresi anak muda.
“Radio bukan sekadar pemancar, tetapi Radio telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,” kata Saiful Alief Subarkah
Dalam perayaan Word Radio Day 2025, UNESCO menyoroti pentingnya inklusivitas dan inovasi dalam dunia penyiaran. Saiful Alief mengamini hal itu. Ia menyebut bahwa tantangan radio saat ini bukan hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi.
“harus masuk ke digital, hadir di media sosial, bahkan merambah podcast. Tapi inti radio tetap satu: suara yang hidup dan didengar,” ujarnya.
Bagi Saiful Alief Subarkah dan banyak praktisi penyiaran lainnya, radio bukan sekadar media, melainkan seni berbicara dengan hati. Di tengah riuhnya dunia digital, suara di udara tetap bertahan—tak hanya karena teknologi, tapi karena manusia masih butuh suara lain di seberang frekuensi.(*)